(INSPIRASI) Nenek Penjual Pisang Yang Hanya Bisa "PATEHAH"

Gambar : JPNN.com

"Wah…pisange sae-sae, mbah." jareku karo ndoprok ngarepe simbah sing dodol gedang. 

"Lha monggo diborong, niki pisang panen piyambak." kata simbah itu riang.

Wis sepuh tapi sik semangat dodolan.
"Iki pisang kepok kuning, enak dikolak. Sing niki kepok putih, yen digoreng legi. Sing niku pisang pista, kulite tipis, wangi. Tapi mpun ditumbas mergo dereng mateng."

Aku hanya diam memperhatikan gerak tangane sing cekatan, meskipun  rodok ndredheg.
"Sadeane mpun dangu, mbah?"
"Dereng. Niki nguber rejeki damel riyaden."
"Putrane pinten, mbah?"
"Kathah, glidik sedanten."
"Kok mboten istirahat mawon, siyam-siyam koq sadean." 
"Lha nggih mergi siyam niku, mboten angsal istirahat. Mumpung Gusti Allah paring ganjaran kathah."

Cleguk.....krungu jawaban ngene rasane kudu nguntal sandal. Jawabane menohok.
Tak delok simbah ngelap kening dan dahinya sing dleweran keringet nganggo pucuke jilbab.
Diantara para penjual dipinggir jalan depan pasar, simbah iki nggelar dagangane tanpa iyup iyup.
Padahal panase ruarr biyasah. 
Wis kudu mokel, raup es dawet.

"Jenengan wangsul jam pinten, mbah?"
"Sakderenge ngashar kulo mpun wangsul. Kulo kedah ndamelaken wedang kangge lare-lare TPQ."
"Koq kedah nyiapaken? Ingkang mengharuskan sinten mbah?"
"Njih kulo piyambak?"
"Ooo....ngaten. Nopo sakben dinten siyam?"
"Njih, wong cuma lare seket."
"Wah....hebat mbah."
"Halah cuma wedang kalih jajan alit-alit. Sing penting lare-lare niku rajin ngaji kulo mpun remen. Pokoke ojo niru mbahe sing cuma iso patehah."

Cleguk maneh. Ngene iki enake nguntal opo neh?
Kumasukkan semua pisang yang ditawarkan ke dalam tas kresek.
"Koq kathah, bade damel nopo?" si mbah heran.
Aku hanya tersenyum.
"Sedoyo pinten, mbah?"
Simbah menyebutkan nominal yang membuatku tercengang.
"Koq murah mbah?"
"Mboten nopo, niku mpun pas. Kulo mboten kulakan, panen piyambak."
"Njih mbah maturnuwun." kataku sembari mengulurkan uang.
"Waduh…ngapunten, kulo mboten enten susuke. Dereng kepayon."
"Kulo tukar riyen mbah."

Aku sengaja meninggalkan simbah. 
Pisang telah kuletakkan di motor.
Agak menjauh dari perempuan sepuh itu.
Kumasukkan beberapa lembaran uang yang masih baru, ke dalam amplop.
Cukup dibagi satu satu untuk anak TPQ 
yang katanya "cuma lare saket".
Penutup lem amplop kubuka lalu kurapatkan.
"Niki mbah, sampun pas njih, pisange kulo tumbas."
Simbah nampani amplop karo tangane sik dredheg.

Tanpa menunggu jawaban, aku segera pergi. 
Esoknya aku mampir lagi, tapi kosong.
Berikutnya aku mampir lagi, kosong juga.
Penasaran kutanyakan pada ibu pedagang sebelahnya.
"Mbahe koq mboten sadean, mbak?"
"Oh mboten, piyambake sadean nek panen mawon."
"Sampeyan ta sing mborong gedange wingi? Mbahe sampek nangis ngguguk. Jarene aku bejo banget entuk Qodaran."

Qodaran, barangkali maksude Lailatul Qodar.
Malam yang konon lebih baik dari 1000 bulan.

Para malaikat turun dari langit, 
Langit hati kita. Menyelesaikan segala urusan.
Allah melapangkan rejeki dan kemuliannya bagi yang dikehendaki.
Pun mempersempit bagi yang dikehendaki pula.
Rejeki sesuai kapasitas kita.
Lantas siapakah yang mendapatkannya ?

Barangkali perempuan sepuh, bakul gedang iku sing entuk.
Bukan karena ia ahli ibadah....
Bukan pula karena I’tikafnya yang  kuat di masjid.
Tapi dialah pelaksana dari yang katanya "cuma iso patehah".

Kesungguhan I’tikaf yang luar biasa. 
Bertindak, berlaku, dan berpasrah dalam keriangan rasa.
I’tikaf di masjid yang digelar dalam keluasan yang maha.
Bukan masjid yang sekedar bangunan ibadah.
Kecintaannya yang sederhana dengan penyiapan wedang dan jajanan bagi seketan bocah selama puasa, sungguh bukan perkara mudah.
Hanya cinta tuluslah yang bisa.

Maka…malam terbaik dari 1000 bulan bukanlah instan.
Tak bisa dijujug dengan akhiran,
semua butuh proses, karena karunia terindah butuh wadah.
Yang dibangun dengan menapis kebaikan sebelum, selama dan sesudah Ramadhan.
Itulah sesungguhnya....QODARAN.

Negara tentrem amarga para satria pinandhita.
Bengi shalat tahajud, awan sregep makarya.
Sugeng siyam ramadhan poro sederek muslim. 
Latihan pasa sewulan mugi kita dados manungsa takwa.

Aamiin

*maturnuwun mbah, sampun paring hikmah kagem kulo*.

*semoga saya dikarunia hati setulus si-Mbah*
*😭😭*

Arti (bahasa Indonesia) :
"Wah...pisangnya bagus² mbah" kataku sambil duduk di depan simbah yang jual pisang. 

"Mari di beli semua, ini pisang panen dari pohon sendiri" jawab simbah itu riang. 
Sudah tua tapi masih semangat berjualan. 
"Ini pisang kepok kuning, enak dibuat kolak. Yang itu kepok putuh, klo digoreng manis. Yang itu pisang pista. Tapi jangan dibeli karna belum matang". 

Aku hanya diam memperhatikan gerak tangannya yang cekatan, meskipun hampir gemeteran. 
"Jualannya sudah lama, mbah? " 
"Belum, ini cari rejeki buat lebaran" 
"Anaknya berapa mbah?" 
"Banyak, kecil² semua" 
"Kok gak istirahat aja, puasa² kok jualan" 
"Lha karna puasa itu gak boleh istirahat. Mumpung Allah Swt kasih banyak pahala" 

Cleguk...dengar jawaban begini rasanya mau nelen sandal. 
Jawabannya menohok. 
Saya lihat simbah mengusap kening dan dahinya yang bermandikan keringat dengan ujung jilbab. 
Diantara para penjual dipinggir jalan depan pasar, simbah ini menggelar dagangannya tanpa payung. Padahal panasnya ruarr biyasah. Hampir mau batal puasa, minum es dawet. 

"Simbah pulang jam berapa?" 
"Sebelum Sholat Ashar, saya sudah pulang. Saya harus membuatkan minum untuk anak² TPQ" 
"Kok harus menyiapkan? Yang mengharuskan siapa mbah? " 
"Ya saya sendiri? " 
"Ooo...begitu. Apa tiap hari puasa? " 
"Iya, hanya 50 anak" 
"Wah...hebat mbah" 
"Halah cuma air sama kue kecil, yang penting anak² itu rajin mengaji, saya sudah seneng. Pokoknya jangan meniru mbah yg cuma bisa baca Alfatehah" 

Cleguk lagi. Sekarang ini enaknya nelen apa lagi? 
Kumasukkan semua pisang yg ditawarkan ke dalam tas kresek. 
"Kok banyak, mau buat apa?" tanya simbah heran. 
Aku hanya tersenyum. 
"Semua berapa, mbah?" 
Simbah menyebutkan nominal yang membuatku tercengang. 
"Kok murah mbah?" 
"Gak apa, itu saja pas. Saya gak kulakan, panen sendiri". 
"Iya mbah terimakasih" kataku sembari mengulurkan uang. 
"Waduh...maaf, saya gak punya kembalian. Belum ada penglaris" 
"Saya tukar dulu mbah" 

Aku sengaja meninggalkan simbah. Pisang telah kuletakkan di motor. Agak menjauh dari perempuan tua itu. 
Kumasukkan bbrp lembaran uang yg masih baru, ke dalam amplop. Cukup dibagi satu satu untuk anak TPQ yang kataya "cuma 50 anak" 
Penutip lem amplop ku buka lalu kurapatkan. 
"Ini mbah, sudah pas ya, pisangnya saya beli" 
Simbah menerima  amplop sambil tangannya yang gemetaran. 

Tanpa menunggu jawaban, aku segera pergi. 
Esoknya aku mampir lagi, tapi kosong. 
Berikutnya aku mampir lagi, kosong juga. 
Penasaran kutanyakan pada ibu oedagang sebelahnya. 
"Mbahnya kok gak kelihatan...mbak?" 
"Oh gak, beliau jualan klo panen aja" 
"Anda kah yang memborong pisangnya kemaren?  Mbahnya spe nangis sesenggukan. Katanya aku beruntung sekali dapat Qodaran" 

Barangkali perempuan tua, penjual pisang itu yang dapat. 
Bukan karena ia ahli ibadah... 
Bukan pula karna I'tikaf'a yg kuat di masjid. 
Tapi dialah pelaksana dari yang katanya "cuma bisa Alfatihah" 
Negara damau karena para para pemimpin'a. 
Malam shalat tahajud, siang rajin bekerja. 
Selamat puasa ramadhan para saudara muslim. 
Latihan puasa sebulan semoga kita jadi manusia yang bertakwa. 

Aamiin 

*terimakasih mbah, sudah kasih hikmah buat saya* 

*Semoga saya dikaruniai hati setulus si-Mbah* 
😭😭


Dibagikan oleh Ibu Istari
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Ibu Ita
Sumber NN

No comments

Powered by Blogger.